TEMPO Interaktif, Solo - Perhelatan Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM) 2010 membuktikan keragaman budaya Nusantara. Bermacam alat musik tradisi dari berbagai daerah mewarnai festival
yang digelar di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, sepanjang 7-11 Juli.
yang digelar di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, sepanjang 7-11 Juli.
Blacius Subono, delegasi asal Kota Solo mencoba bereksperimen dengan musik gamelannya. Tidak tanggung-tanggung, 40 personel diajaknya ke atas panggung untuk memainkan alat musik tradisional Jawa tersebut, dari 75 orang yang semula direncanakan. Luas panggung tidak memungkinkan untuk membawa terlalu banyak personel.
Dalam persembahan karya pertama, tidak satu pun gamelan dimainkan. Karya berjudul Kahanan Jaman Edan dimainkan secara acapella. Karya itu terinspirasi dari sebuah buku karya pujangga asal Solo, Ranggawarsita. Lagu tersebut menggambarkan sebuah keadaan dimana manusia mulai menghalalkan segala cara untuk menggapai keinginan.
Adapun alat musik gamelan baru digunakan pada karya kedua yang berjudul Surya Gumlewang. Komposer yang memiliki segudang pengalaman itu mencoba memasukkan unsur-unsur baru dalam musik karawitan itu. Salah satunya penggunaan alat musik modern berupa saksofon.
Perangkat gamelan itu dibunyikan dengan cara yang tidak lazim. “Orang bilang, diluar pakem,” kata Blacius Subono. Warna musik Bali dan Sunda terkadang menyusup dalam gending bernada pentatonik yang dimainkan, meskipun warna musik Jawa masih tetap mendominasi.
Subono bukan orang pertama yang memasukkan unsur musik daerah lain dalam gamelannya. Hal itu juga sering dilakukan oleh Ki Nartosabdo, dalang dan komponis yang tenar di era 1980. Terang-terangan, Subono mengaku banyak terinspirasi dari dalang legendaris itu.
Seperti pada karya pertama, Surya Gumlewang juga sarat pesan moral. Surya Gumlewang, yang berarti matahari hampir tenggelam itu, menceritakan tentang tingkah manusia yang hanya mengejar kepentingan duniawi. “Sifat itu berlanjut hingga di usia senja,” ujar Subono.
Meski memasukkan beberapa unsur baru dalam musik tradisional yang dimainkan, Subono enggan menyebut dirinya beraliran kontemporer. Baginya, tidak ada musik tradisi yang orisinil. Semua mengalami perkembangan yang cukup dinamis dan dipengaruhi oleh jaman.
Jika banyak applause yang diberikan oleh penonton pada saat akhir pementasan, itu bukan hanya karena Subono merupakan delegasi asal tuan rumah. Pria yang mulai mendalang pada usia 12 tahun itu memang berhasil membawakan karyanya yang cukup memukau.
Tidak semua penyaji dalam SIEM Festival 2010 memberikan warna baru dalam karyanya. Delegasi asal Makassar, Sulawesi Selatan, Hamrin Samad mencoba menampilkan musik tradisi yang orisinil dari daerahnya. Meskipun, selama ini, Hamrin seringkali bereksperimen menggabungkan alat musik tradisi dengan berbagai alat musik lain.
Dalam sajian berjudul Bulang Keke, Hamrin mengangkut 19 macam alat musik tradisional ke atas panggung. Dia ntaranya adalah kecapi, pui-pui, gendang Makasar, serta gambus. Meski membawa belasan alat musik, hanya ada enam personel yang berada di atas panggung. Setiap personel memainkan beberapa alat musik secara bergantian.
Bulang Keke sangat kental dengan nuansa tradisi. Lagu itu merupakan tembang permainan anak-anak di Makassar, yang dimainkan saat bulan purnama bersinar. Nyanyian itu menunjukkan betapa riangnya anak-anak di Makassar menyambut datangnya purnama. Mereka takut, bulan purnama segera lewat atau pun tertutup awan tebal.
Merujuk pada aslinya, terdapat unsur permainan dalam Bulang Keke itu. Namun Hamrin hanya menampilkan unsur musik dan nyanyian dalam karyanya. “Kondisi panggung tidak memungkinkan,” kata Hamrin. Segala macam permainan biasa dilakukan saat menyambut bulan purnama, asal tidak mengandung unsur kalah-menang.
Penampilan para musisi dalam SIEM Festival 2010 disaksikan oleh ribuan penonton dari berbagai kalangan. Tontonan itu menjadi sebuah pesta rakyat, karena panitia membagikan tiket secara gratis.
Sayangnya, artistik panggung dalam SIEM ketiga ini masih kalah menarik dibandingkan dengan dua SIEM sebelumnya. Sebab, venue-nya memang berbeda. SIEM 2006 diselenggarakan di Benteng Vastenburg, sehingga arsitektur bangunan kuno itu menyatu dengan musik etnik yang disajikan.
Sedangkan SIEM 2008 diselenggarakan di Pura Mangkunegaran, Solo. Bangunan kuno Kavalerie-Artillerie milik Mangkunegaran menjadi background panggung.
SIEM 2010 sengaja mengambil venue di Stadion Sriwedari. Stadion ini cukup legendaris, karena menjadi tempat diselenggarakannya Pekan Olahraga Nasional yang pertama kalinya. Hanya saja, tidak ada bangunan kuno yang bisa memperkuat kesan etniknya.
Sebenarnya, penyelenggara sudah cukup cerdik dengan menempatkan ratusan batang bambu yang dipasang menjulang di sekitar panggung. Selain itu, mereka juga menempatkan sejumlah tumpukan jerami. Selain memberikan kesan etnik, benda-benda itu digunakan untuk meredam gaung. Sayang, tata cahaya yang kurang membuat benda-benda itu luput dari perhatian penonton.
Kritikan justru datang dari Wali Kota Surakarta, Joko Widodo. “Desain perlu banyak dievaluasi untuk SIEM berikutnya,” katanya.
AHMAD RAFIQ
0 komentar:
Posting Komentar